PENJAJAHAN JEPANG
DAN JEJAK SEJARAH
PENDERITAAN SAMPAI
KE “ BALUNG SUMSUM “ YANG
DITINGGLKANNYA
Oleh
: Desli Hefrina
Banyak
ahli sejarah berpendapat
bahwa sejarah sangat
tergantung kepada siapa yang membacanya. Jika seseorang
yang bermaksud membacanya hanya
sekedar hiburan atau pun pengisi waktu senggang, maka sejarah tak lebih hanya
sekedar jejak kecil atau bias semu masa lalu
yang menjadi kisah-kisah yang
menakjubkan untuk masa sekarang. Tapi jika
sejarah dibaca untuk
dijadikan pelajaran, petikan-petikan nasehat, pengalaman berharga, renungan
dan cerminan maka
ia akan menjadi
sebuah universitas terbesar
suatu bangsa. Tidak berlebihan
jika Gustave Lebon mengatakan bahwa sejarah pembentuk watak suatu
bangsa.
Merupakan kewajiban
oleh suatu bangsa
untuk menyampaikan kembali
sejarah bangsanya, betapun
itu pahit, kelam atau
pun “ agung .” Ia
wajib untuk disampaikan
bagi generasi selanjutnya
untuk dapat dijadikan “ harta “ yang tidak ternilai harganya. “ Maka
ceritakanlah ( Kepada mereka )
kisah-kisah itu agar meeka berpikir. “ ( al A’raf : 175 ).
Sejarah merupakan
ilmu yang unik, yang
sangat tergantung kepada
manusia, dalam mengungkapkannya, tidak
terlepas dari sifat
baik dan buruknya, jujur dan
tidak jujurnya. Satu kisah
sejarah akan terungkapkan
berbeda, tergantung dari sudut
mana ia memandangnya.
Berbijak dari
sejarah bangsa sendiri. Kemerdekaan yang telah dirasakan
oleh bagsa Indonesia, belumlah sebegitu
lama jika dibandingkan
pahitnya kehidupan sebagai
bangsa terjajah. Bangsa Indonesia
tidak hanya tertindas
fisiknya tapi dibekukan
mentalnya. Penjajahan yang dilakukan
orang-orang Eropa dan
Jepang ke Indonesia tidak
lebih seperti perbudakan
yang panjang yang
dialami bangsa Indonesia.
Sejak kedatangan
bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, bangsa Indonesia selalu
menjadi tempat pemerasan
dan mencari keuntungan
dari bangsa-bangsa Eropa
tersebut. Walaupun sistem pemerintahan
yang silih berganti, yaitu dari
VOC, pemerintahan. Kerajaan Belanda,
Inggris, dan kembali
kepada pemerintahan kolonial
Belanda, serta silih bergantinya
politik pemerintahan, namun
kenyataannya bagsa indonesia
tetap menderita dan
sengsara. Lain pemerintahan Belanda
lain pula pemerintahan
fasis Jepang. Sebagian rakyat
Indonesia percaya pada
waktu itu bahwa
kedatangan “ saudara tua “ yang dislogan
Jepang, akan membawa bangsa
ini lepas dari
penjajahan. Memang bangsa ini
lepas dari penjajahan
Belanda tapi tidak
penjajahan bangsa Jepang. Ibarat lepas dari jerat
buaya kemudian masuk ke kandang singa.
Demi keuntungan
negaranya, Belanda rela menjadikan
bagsa indoensia sebagai
bangsa yang rakyatnya
pantas untuk dijadikan
budak-budak yang diperdagangkan, hidup miskin, tanpa` hak-hak sebagai
bangsa yang terjajah. Dan
kedatangan bangsa Jepang
telah melengkapi penderitaan
panjang Indonesia sebagai
bangsa yang bisa
untuk terus di perbudak. Mereka memandang
kita adalah sebuah
negara rendah dn pihak yang lemah
karena dianggap sebagai bangsa kaya yang bodoh (diperbodohi).
Penjajahan
Jepang berbeda kondisinya dengan penjajahan Belanda di Indonesia. Jepang
mengambil jajahan Belanda, yang di paksa menyerahkan kekuasaannya dalam
perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942. Jepang menyakini bahwa sewaktu-
waktu Belanda dan sekutu- sekutunya akan merebut balik Indonesia. Segala hal di
lakukan Jepang untuk mempertahankan kekuasaanya di Indonesia termasuk
mempropaganda rakyat Indonesia dengan slogan- slogan kosong, menarik simapti
rakyat bawah dan golongan nasionalis dengan berbagai pendidikan dan kesempatan
menduduk jabatan di pemerintahan, janji kemerdekaan kelak dikemudian hari,
membentuk Persemakmuran Bersama Asia
Timur Raya. Itu semua tidak lebih dari omong kosong hanya untuk sekedar mencuci otak rakyat
Indonesia bahwa Jepang- Indonesia adalah sama, tapi bagaimana kenyataannya? bahwa sejarah bangsa ini telah mencatatnya
ketika Jepang menjajah tidak lebih adalah pelengkap dari penderitaan yang jauh lebih
berat dari penjajahan Belanda. Penderitaan atas mayat- mayat rakyat Indonesia
yang bergelimpanngan, rakyat yang mati karena lapar yang tak
terperihkan, tenaga yang terkuras habis sampai mati karena bekerja secara paksa
dan disiksa. Bukan darah yang tertumpah karena perlawanan rakyat kecil, tapi
seperti belalang kecil yang tergeletak mati karena kehidupan yang perih sampai
ke “balung sumsum”nya.
Kemelaratan
berkecamuk dan kelaparan berjangkit hampir di seluruh Indonesia. Kekayaan
rakyat di kuras akibatnya timbulnya golongan yang disebut “kere” atau jembel dalam jumlah yang sangat besar. Adanya
kaum gelandangan di negeri kita di mulai dari zaman Jepang itu. Pada zaman
Belanda tidak ada kaum gelandangan. Kaum
gelandangan bannyak berkeliaran di kota- kota besar, seperti Jakarta, Bandung,
Semarang, dan Surabaya. Di kota- kota besar itu setiap hari terdapat
gelandangan yang mati kelaparan di pinggir jalan atau di bawah jembatan.
Untuk
membangun prasarana perang seperti kubu- kubu, jalan raya, lapangan udara, dan
lain- lain, Jepang memerlukan banyak tenaga kasar, selain untuk bekerja di
pabrik- pabrik, perkebunan dan pelabuhan- pelabuhan. Tenaga itulah yang disebut
Romusha. Mula- mula para romusha
diambil dari para jembel, tetapi dalam waktu singkat, para jembel itu sudah
habis ditelan “mesin perang” Jepang. Sehingga mereka harus mencari tenaga-
tenaga lain. Tenaga- tenaga itu terdapat di desa- desa. Pulau Jawa sebagai
pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan tenaga tersebut secara
besar- besaran.
Pada
mulanya tugas tersebut dilakukan secara sukarela dan pengerahan tenaga rakyat
secara mudah dapat dilakukan karena rakyat telah terpengaruh oleh propaganda
Jepang “untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya” Jepang melancarkan kampanye
yang menyatakan bahwa romusha adalah prajurit
ekonomi atau pahlawan kerja yang
tidak pantas disebut sebagai kuli. Mereka digambarkan sebagai prajurit-
prajurit yang menunaikan tugas suci untuk angkatan perang Jepang, usaha mereka
itu mendapat pujian setinggi langit.
Tidak
selamanya kekejaman Jepang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia, akhirnya
sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa kerja romusha merupakan kerja paksa yang
mengerikna. Kesehatan mereka tidak dijamin, makan tidak cukup, pekerjaan mereka
sangat berat. Sejak pagi buta sampai petang hari mereka dipaksa melakukan
pekerjaan kasar tanpa makan, kondisi fisik mereka menjadi lemah, sehingga
mereka hampir tidak punya kekuatan lagi. Tidak jarang yang mendapat makian-
makian dan pukula dari para pengawas mereka yang orang Jepang kalau mereka kedapatan
beristirahat. Belum lagi bertambahnya angka kematian rakyat pekerja paksa ini
karena wabah penyakit dari tempat bekerja seperti disentri dan malaria.
Penjajahan
Jepang yang telah berlangsung selama 3,5 tahun membawa kerugian yang besar bagi
rakyat Indonesia diantaranya korban jiwa yang jumlahnya sampai ratusan ribu
khususnya akibat romusha, merupakan kerugian yang tidak terbayar harganya,
penderitaan penduduk dalam hal makanan,
pakaian, dan kesehatan marupakan penderitaan yang tidak mudah di hilangkan dari
ingatan orang yang mengalaminya, banyak harta benda kekayaan Indonesia yang
hilang karena dipergunakan untuk perang. Penderitaan itu tidak hanya berdampak
terhadap fisik rakyat tetap juga berdampak jauh terhadap mental anak bangsa.
Rusaknya mental bangsa Indonesia yang meniru kelakuan orang Jepang yang kejam
dan timbulnya korupsi yanng semula hanya terdorong untuk memenuhi keperluan
hidup saja tapi pada akhirnya untuk lebih memperkaya diri sendiri dan rela
melakukan segala cara untuk mewujudkannnya. Bagi mereka kemiskinan, kelaparan
rakyat kecil bukanlah hal yang harus mereka pikirkan.
Dalam
catatan sejarah bangsa Indonesia kita pernah menjadi wilayah yang sangat
diperhitungkan oleh negara- negara asing. Dalam sumber sejarah Cina dan India
bangsa kita dikenal sebagai negara yang kaya dengan hasil bumi seperti emas,
perak, beras dan bahan- bahan lainnya, dengan rakyat yang makmur, berdirinya
banyak kerajaan yang kuat dengan kekuasaan yang luas. Saat itu kita belum di
jajah oleh bangsa Eropa dan Jepang. Kini bangsa kita Indonesia telah merdeka
tidak berada dalam penjajahan negara
manapun. Sudah sepantasnya kita kembali menjadi negara dan bangsa yang
semestinya diperhitungkan kembali oleh negara dan bangsa yang semestinya
diperhitungkan kembali oleh negara dan bangsa manapun. Seperti nenek moyang kita dahulu untuk membangun sebuah kerajaan
yang kuat, rakyat yang hidup dalam keadialan, keamanan dan kemakmuran. Mereka mampu
membangun masyarakat yang maju yang dapat dilihat dari perkembangan budaya yang
telah dihasilkannya. Bukankah sampai hari ini kita masih dapat melihat berdiri
kokoh candi Borobudur dan Candi Prambanan, bukti kecil yang tersisa dari maju
dan tingginya budaya bangsa kita “Indonesia” yang tercatat dalam tinta emas
sejarah bangsa ini. Sejarah akan terulang kembali, baik dan buruknya sangat tergantung dari
seberapa besar bangsa ini mau belajar darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar