Selasa, 08 Mei 2012

Artikel Aku


PENJAJAHAN  JEPANG  DAN  JEJAK  SEJARAH
PENDERITAAN  SAMPAI  KE  “ BALUNG SUMSUM “  YANG
DITINGGLKANNYA

Oleh : Desli Hefrina

 Banyak  ahli  sejarah  berpendapat  bahwa  sejarah  sangat  tergantung  kepada  siapa yang  membacanya. Jika  seseorang  yang  bermaksud membacanya hanya sekedar hiburan atau pun pengisi waktu senggang, maka sejarah tak lebih hanya sekedar jejak kecil atau bias semu masa lalu  yang  menjadi kisah-kisah  yang  menakjubkan untuk  masa  sekarang. Tapi  jika  sejarah  dibaca  untuk  dijadikan  pelajaran, petikan-petikan  nasehat, pengalaman berharga,  renungan  dan  cerminan  maka  ia  akan  menjadi  sebuah  universitas  terbesar  suatu  bangsa. Tidak berlebihan jika Gustave Lebon  mengatakan bahwa sejarah pembentuk watak suatu bangsa.
Merupakan  kewajiban  oleh  suatu  bangsa  untuk  menyampaikan  kembali  sejarah bangsanya, betapun  itu  pahit,  kelam  atau  pun  “ agung .”  Ia  wajib  untuk  disampaikan  bagi  generasi  selanjutnya  untuk  dapat dijadikan  “ harta “  yang tidak ternilai harganya. “ Maka ceritakanlah ( Kepada mereka )  kisah-kisah  itu agar  meeka berpikir. “ ( al A’raf : 175 ).     
Sejarah  merupakan  ilmu  yang  unik, yang  sangat  tergantung  kepada  manusia,  dalam mengungkapkannya,  tidak  terlepas  dari  sifat  baik  dan  buruknya, jujur  dan  tidak  jujurnya. Satu  kisah  sejarah  akan  terungkapkan  berbeda,  tergantung  dari sudut  mana ia  memandangnya.
Berbijak  dari  sejarah  bangsa  sendiri. Kemerdekaan  yang  telah  dirasakan  oleh  bagsa  Indonesia, belumlah  sebegitu  lama  jika  dibandingkan  pahitnya  kehidupan  sebagai  bangsa  terjajah. Bangsa  Indonesia  tidak  hanya  tertindas  fisiknya  tapi  dibekukan  mentalnya. Penjajahan  yang  dilakukan  orang-orang  Eropa  dan  Jepang  ke Indonesia  tidak  lebih  seperti  perbudakan  yang  panjang  yang  dialami  bangsa Indonesia.
Sejak  kedatangan  bangsa-bangsa  Eropa  ke Indonesia, bangsa Indonesia  selalu  menjadi  tempat  pemerasan  dan  mencari  keuntungan  dari  bangsa-bangsa  Eropa  tersebut. Walaupun  sistem  pemerintahan  yang  silih  berganti, yaitu  dari  VOC, pemerintahan. Kerajaan  Belanda,  Inggris, dan  kembali  kepada  pemerintahan  kolonial  Belanda, serta  silih  bergantinya  politik  pemerintahan,  namun  kenyataannya  bagsa  indonesia  tetap  menderita  dan  sengsara.  Lain pemerintahan  Belanda  lain  pula  pemerintahan  fasis  Jepang. Sebagian  rakyat  Indonesia  percaya  pada  waktu  itu  bahwa  kedatangan  “ saudara tua “  yang  dislogan  Jepang, akan  membawa  bangsa  ini  lepas  dari  penjajahan. Memang  bangsa  ini  lepas  dari  penjajahan  Belanda  tapi  tidak  penjajahan  bangsa  Jepang. Ibarat  lepas  dari  jerat  buaya  kemudian  masuk ke kandang singa.
Demi  keuntungan  negaranya, Belanda  rela  menjadikan  bagsa  indoensia  sebagai  bangsa  yang  rakyatnya  pantas  untuk  dijadikan  budak-budak  yang  diperdagangkan, hidup  miskin, tanpa` hak-hak  sebagai  bangsa  yang  terjajah. Dan  kedatangan  bangsa  Jepang  telah  melengkapi  penderitaan  panjang  Indonesia  sebagai  bangsa  yang  bisa  untuk  terus  di perbudak. Mereka  memandang  kita  adalah  sebuah  negara  rendah dn pihak yang lemah karena dianggap sebagai bangsa kaya yang bodoh (diperbodohi).
Penjajahan Jepang berbeda kondisinya dengan penjajahan Belanda di Indonesia. Jepang mengambil jajahan Belanda, yang di paksa menyerahkan kekuasaannya dalam perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942. Jepang menyakini bahwa sewaktu- waktu Belanda dan sekutu- sekutunya akan merebut balik Indonesia. Segala hal di lakukan Jepang untuk mempertahankan kekuasaanya di Indonesia termasuk mempropaganda rakyat Indonesia dengan slogan- slogan kosong, menarik simapti rakyat bawah dan golongan nasionalis dengan berbagai pendidikan dan kesempatan menduduk jabatan di pemerintahan, janji kemerdekaan kelak dikemudian hari, membentuk Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Itu semua tidak lebih dari omong kosong  hanya untuk sekedar mencuci otak rakyat Indonesia bahwa Jepang- Indonesia adalah sama, tapi bagaimana kenyataannya?  bahwa sejarah bangsa ini telah mencatatnya ketika Jepang menjajah  tidak  lebih adalah  pelengkap dari penderitaan yang jauh lebih berat dari penjajahan Belanda. Penderitaan atas mayat- mayat rakyat Indonesia yang bergelimpanngan, rakyat yang mati karena lapar  yang  tak terperihkan, tenaga yang terkuras habis sampai mati karena bekerja secara paksa dan disiksa. Bukan darah yang tertumpah karena perlawanan rakyat kecil, tapi seperti belalang kecil yang tergeletak mati karena kehidupan yang perih sampai ke “balung sumsum”nya.
Kemelaratan berkecamuk dan kelaparan berjangkit hampir di seluruh Indonesia. Kekayaan rakyat di kuras akibatnya timbulnya golongan yang disebut “kere” atau  jembel dalam jumlah yang sangat besar. Adanya kaum gelandangan di negeri kita di mulai dari zaman Jepang itu. Pada zaman Belanda tidak ada kaum  gelandangan. Kaum gelandangan bannyak berkeliaran di kota- kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Di kota- kota besar itu setiap hari terdapat gelandangan yang mati kelaparan di pinggir jalan atau di bawah jembatan.
Untuk membangun prasarana perang seperti kubu- kubu, jalan raya, lapangan udara, dan lain- lain, Jepang memerlukan banyak tenaga kasar, selain untuk bekerja di pabrik- pabrik, perkebunan dan pelabuhan- pelabuhan. Tenaga itulah yang disebut Romusha. Mula- mula para romusha diambil dari para jembel, tetapi dalam waktu singkat, para jembel itu sudah habis ditelan “mesin perang” Jepang. Sehingga mereka harus mencari tenaga- tenaga lain. Tenaga- tenaga itu terdapat di desa- desa. Pulau Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan tenaga tersebut secara besar- besaran.
Pada mulanya tugas tersebut dilakukan secara sukarela dan pengerahan tenaga rakyat secara mudah dapat dilakukan karena rakyat telah terpengaruh oleh propaganda Jepang “untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya” Jepang melancarkan kampanye yang menyatakan bahwa romusha adalah prajurit ekonomi atau pahlawan kerja yang tidak pantas disebut sebagai kuli. Mereka digambarkan sebagai prajurit- prajurit yang menunaikan tugas suci untuk angkatan perang Jepang, usaha mereka itu mendapat pujian setinggi langit.
Tidak selamanya kekejaman Jepang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia, akhirnya sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa kerja romusha merupakan kerja paksa yang mengerikna. Kesehatan mereka tidak dijamin, makan tidak cukup, pekerjaan mereka sangat berat. Sejak pagi buta sampai petang hari mereka dipaksa melakukan pekerjaan kasar tanpa makan, kondisi fisik mereka menjadi lemah, sehingga mereka hampir tidak punya kekuatan lagi. Tidak jarang yang mendapat makian- makian dan pukula dari para pengawas mereka yang orang Jepang kalau mereka kedapatan beristirahat. Belum lagi bertambahnya angka kematian rakyat pekerja paksa ini karena wabah penyakit dari tempat bekerja seperti disentri dan malaria. 
Penjajahan Jepang yang telah berlangsung selama 3,5 tahun membawa kerugian yang besar bagi rakyat Indonesia diantaranya korban jiwa yang jumlahnya sampai ratusan ribu khususnya akibat romusha, merupakan kerugian yang tidak terbayar harganya, penderitaan penduduk dalam  hal makanan, pakaian, dan kesehatan marupakan penderitaan yang tidak mudah di hilangkan dari ingatan orang yang mengalaminya, banyak harta benda kekayaan Indonesia yang hilang karena dipergunakan untuk perang. Penderitaan itu tidak hanya berdampak terhadap fisik rakyat tetap juga berdampak jauh terhadap mental anak bangsa. Rusaknya mental bangsa Indonesia yang meniru kelakuan orang Jepang yang kejam dan timbulnya korupsi yanng semula hanya terdorong untuk memenuhi keperluan hidup saja tapi pada akhirnya untuk lebih memperkaya diri sendiri dan rela melakukan segala cara untuk mewujudkannnya. Bagi mereka kemiskinan, kelaparan rakyat kecil bukanlah hal yang harus mereka pikirkan.
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia kita pernah menjadi wilayah yang sangat diperhitungkan oleh negara- negara asing. Dalam sumber sejarah Cina dan India bangsa kita dikenal sebagai negara yang kaya dengan hasil bumi seperti emas, perak, beras dan bahan- bahan lainnya, dengan rakyat yang makmur, berdirinya banyak kerajaan yang kuat dengan kekuasaan yang luas. Saat itu kita belum di jajah oleh bangsa Eropa dan Jepang. Kini bangsa kita Indonesia telah merdeka tidak berada dalam penjajahan  negara manapun. Sudah sepantasnya kita kembali menjadi negara dan bangsa yang semestinya diperhitungkan kembali oleh negara dan bangsa yang semestinya diperhitungkan kembali oleh negara dan bangsa manapun. Seperti nenek moyang  kita dahulu untuk membangun sebuah kerajaan yang kuat, rakyat yang hidup dalam keadialan, keamanan dan kemakmuran. Mereka mampu membangun masyarakat yang maju yang dapat dilihat dari perkembangan budaya yang telah dihasilkannya. Bukankah sampai hari ini kita masih dapat melihat berdiri kokoh candi Borobudur dan Candi Prambanan, bukti kecil yang tersisa dari maju dan tingginya budaya bangsa kita “Indonesia” yang tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa ini. Sejarah akan terulang kembali, baik dan buruknya sangat tergantung dari seberapa besar bangsa ini mau belajar darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar